Jangan Salah Kaprah dengan #ProNgopi!

Alhamdulillah, akhirnya kemarin (6/3/2016), blog ini berhasil saya luncurkan. Blog ini, dibuat atas inspirasi dari kebiasaan nongkrong di warung-warung kopi. Setelah mencermati kebiasaan, kiranya rugi, bila momentum kumpul-kumpul hanya dihabiskan, tanpa 'selembar' karya pun dihasilkan.

Hasruddin Jaya: Isu Buruk IM-BUTUR di Medsos Tidak Benar!

Menurutnya, isu yang beredar di media sosial terkait dengan paguyuban IM-BUTUR yang diposting oleh pemilik akun bernama "Yang Baru" yang menjelek jelekan Pengurus IM-BUTUR, itu hanya provokasi yang bisa memecah belah mahasiswa Buton Utara.

Mau Ngopi? Warkop Ini Sajikan 12 Jenis Kopi Asli Indonesia..

Yang paling mulia, warkop ini mengusung misi tingkat tinggi buat pengunjungnya. Yakni; "Kami mengutamakan kwalitas kopi, tempat boleh biasa, kopinya yang luar biasa Warkop Demen".

JUFRA UDO: Burung Pagi


Kala malam berusia senja, pelan-pelan usianya menyulam purna. Selesai dan berganti bentuk. Kudapati pagi. Sinarnya menyembul di balik tiraiku.

Di luar berderet siul burung yang mulai lemah. Tak ada induk yang temani ia bertengger. Tampaknya, ia begitu mandiri.

Sosoknya kecil. Berbadan tak lebih dari seukuran bola pingpong.

Ia begitu tegar. Melambangkan jikalau banyak harapan besar. Meski di dataran kota yang gersang olehnya, ia begitu gagah. Tak gagap melakoni hidupnya. Yang sewaktu-waktu manusia bisa membinasakannya.

Kota ini hanya milik para pengumpat. Yang rajin menghujat alam dengan knalpot nakal. Yang mengatai dunia dengan lemparan ludah dan ingus.

Dan, hanya pagi yang layak dimiliki burung. Begitu hormat ia pada alam. Dan tak secarik daun jua dicabiknya.

Akh, pagi memang menyisahkan banyak cerita. Ketika burung itu bersiul, ada cerita lebih dari kita. Sebagai manusia, mestinya harus rajin bersiul. Bukan dikalahkan burung itu. Juga harus menaruh hormat lebih pada kemurahan alam.(*)

Kendari, 9/4/2016


(JUFRA UDO) Kekuatan Petahana

Sebenarnya, sejauh ini belum ada konsep yang pasti soal petahana. DPR pun masih sibuk untuk merevisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, konsep petahana masuk dalam poin penting agenda revisi. Kendati demikian, perlu diingat juga, terma-terma politik telah membiasa di bawah sadar, dan itu sulit dilepaskan.

Seperti itu pula pemaknaan petahana, yakni seorang kepala daerah yang maju ke kontestasi untuk kedua kalinya. Lepas dari UU, apakah makna itu masih berlaku atau tidak? Kita tunggu saja pihak DPR yang dikabarkan siap kebut soal rencana revisi tersebut (Suara.com, 5/04/2016).

Lepas dari revisi, pilkada serentak jilid dua akan kembali digelar pada 2017 mendatang. Dan tentu, petahana akan jadi momok yang paling menantang bagi figur pendatang dalam kontestasi pilkada.

Momok itu tersebut tentu memiliki alasan-alasan. Meski terbilang klasik, alasan-alasan berikut masih saja mengena. Seperti;

Pertama, struktur birokrasi yang rapi, dan telah didisiplinkan untuk taat dan patuh pada kebijakan kepala daerah. Birokrasi yang kuat sangat dipastikan mampu memberi sumbangsih dukungan yang sistemik bagi figur incumbent.

Kedua, struktur budaya. Jika selama menjabat sebagai kepala daerah, petahana selalu menjalankan program-program yang berkaitan dengan budaya, maka akan sulit ditebas kekuatannya bagi figur pendatang. Ini dikarenakan efek sosiologisnya yang langsung menyasar paradigma akar rumput (grass root). Budaya, seperti demikian, sulit dilawan dengan mengedepankan isu 'kejenuhan' maupun kampanye hitam atas keburukan petahana.

Ketiga, kekuatan modal. Tak ada kekuasaan yang kokoh tanpa sokongan modal yang kuat. Ini framing kuasa politik yang tidak bisa diingkari. Tetap berlaku. Dikarenakan, dunia birokrasi yang mengepankan pembangunan infrastruktur, seperti kultur pembangunan saat ini, menyisakan pundi-pundi yang gemuk yang acap dipersiapkan sebagai basis finansial dalam kontestasi politik. Apalagi ditunjang dengan sikap koruptif bagi petahana yang cenderung memperkaya diri sendiri, lewat penggemukan aset pribadi, dan modus sabotase izin usaha lawan-lawan politiknya.

Kendati demikian, faktor ketiga tak cukup dominan untuk mempengaruhi sokongan dukungan politik bagi incumbent. Terlebih bila berhadapan dengan kandidat pendatang yang disokong juga dukungan finansial yang kuat.

Dari ketiga alasan tersebut, dukungan basis finansial yang kuat bagi kandidat pendatang, tidak semestinya membuat tampil percaya diri apalagi over di gelanggang politik. Tak selamanya, kalkulasi ekonomi bisa mengimbangi perubahan politik. Sekejap saja, politik bisa berubah.

Politik menyentuh semua sisi naluriah manusia. Kekuatan jual-beli dan penawaran, jangan dipastikan bisa membaca gerak politik sebagaimana grafik saham, dan kenaikan harga sembako. Perubahan politik selalu dinamis. Kapan pun manusia berpikir untuk merubah sikap, ketika itu jua tindakan politik berubah.

Disamping, isu etnis adalah hal yang sangat konyol untuk dimainkan di medan yang sempit. Etnis bila dijadikan sebagai opini dalam medan seperti itu, sama halnya mematikan ruang opini publik. Juga dapat memantik meledaknya konflik, karena etnis menyentuh ruang privat yang amat sensitif.

Karenanya, politik mesti tampil elegan bila hendak meruntuhkan kemapanan struktur yang telah dibangun petahana. Yakni mengusung nafas perubahan dan dapat memastikan soliditas masyarakat.

Cara yang paling elegan, bisa ditempuh, dengan membentuk pos-pos dukungan sebagai bentuk legitimasi kepemilikan teritorial. Ruang gerak petahana bisa dibatasi dari sini.

Dan, hindari konflik yang melibatkan kelompok masyarakat kelas bawah. Karena bisa menjadi bumerang, dan membuat leluasa gerak politik petahana. Bermainlah dengan cara-cara yang elegan dan santun, yang penting progresnya terukur.(*)

Oleh: Jufra Udo
(Kader HMI MPO Kendari, jufraudo10@gmail.com)

Tulisan sudah dipublikasikasi zonasultra.com



Lupakan Revolusi(mu)!


Oleh: Jufra Udo

Saya hampir lupa jatuh cinta dengan revolusi. Revolusi makin sepi makna. Setidaknya itu alasan saya, secara prinsipil.

Karena mencintai revolusi, berarti memahami subtansi gerak, dan totalitasnya. Sementara penyaksian saya, revolusi kita hanya sebatas alegori, untuk tidak kebelet mengatakannya sebagai utopia. Mustahil akan terjadi, tanpa konstruk ideologi sebagai pandangan hidup yang bergerak ke arah penentangan.

Itu yang saksikan, ketika mengamati celoteh beberapa kawan yang terlanjur mendaulat diri sebagai agen revolusi.

Dalam rekayasa sosial, revolusi bisa terjadi  apabila ada keadaan tertentu yang berpihak ke arah chaos. Tempat perseteruan antara beberapa kelompok besar, dan membentuk tatanan baru. Tentunya, setelah terlebih dahulu menggusur tatanan lama dari segala sisi.

Dan munculnya reformasi, bukanlah revolusi, tetapi pergeseran kekuasaan ke orde transisi. Pada akhirnya, gestur tatanan lama masih saja membekas. Karena tidak ada totalitas dalam usungan perubahannya.

Keadaan tertentu yang mendorong terjadinya gerak revolusi tersebut,  yakni ketika ada kondisi darurat yang mendesak seluruh kelompok untuk tampil sebagai oposisi biner.

Tergabungnya beberapa kelompok yang berpengaruh vital terhadap kebijakan negara dan melakukan penentangan secara periodik, jadi prasyarat awal yang menentukan bahwasannya, setidaknya, gejala revolusi mulai menyeruak.

Bahwa kelompok pengusaha, militer, dan oposisi politik telah tergabung dalam sebuah kongsi besar. Dan kalangan intelektual, adalah pemantik yang tepat untuk menghubungkan pertemuan itu. Kenapa kalangan intelektual?

Kalangan intelektual, adalah mereka yang memiliki ketepatan legitimasi, bahkan lebih dikatakan sebagai basis ideologis dalam sebuah negara, kata Louis Althusser.

Juga Althusser meyakinkan kita, kegandrungan pada filsafat dan pemikiran progresif adalah modal utama untuk mendorongnya.

Jadi, berhentilah bicara soal revolusi, jika hanya termaktub pada "kata pembuka", dan "kata penutup". Sebab, itu bukanlah tanda keseriusan, tapi lebih pada penanda eufoni ingar dan bingar.(*)


Rasa

Tidak terlalu. Terpental, lalu kembali ke mulanya. Rasa tak ubahnya seperti itu. Tidak perlu resolusi lain. Bila gagal, tunggu ia kembali. Tak akan jauh terpental, hanya jauh jarak kembalinya.

Seberapa pun rasa berganti sajian. Entah lara, hilang asa, dan ria; tak perlu disahuti berlebihan. Tak ada rasa yang abadi. Juga tak rasa yang tak kembali.

Ia akan pulih seperti sedia kala. Menyusun puzle-puzlenya ke arah kesempurnaan. Utuh kembali.

Rasa hanya tunduk pada waktu. Dan kepada kuasa waktu pula kita menyerahkan diri. Bukan memaki diri, atau mencari kambing hitam karena rasa.

Pada waktu, rasa menyembah. Karena berhenti-lah. Usap matamu perlahan, sinar pagi telah tersenyum padamu. Sebab, setiap pagi adalah kado terindah dari waktu. Bangkitlah! Dan miliki rasamu.

Oleh: Jufra Udo


Menoreh Granat dari UHO


Seketika suasana menjadi ruwet. Isu kerawanan area kampus yang kerap diasosiasikan sebagai daerah rawan, kembali ke titik awalnya. Bahkan, ada netizen yang mengakhiri dengan tanya. Apakah ada teroris di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari?

Ledakan granat beberapa hari lalu (29/03) jadi pemicunya. Syahdan, di kampus yang tengah gencar dengan pengkondisian ke arah nuansa akademis, seketika gulita oleh ledakan granat.

Entah, motivasi apa yang membuat kampus ini mengadakan latihan penjinakan bom. Saya pun kadang berprasangka lebih, bilamana UHO sepertinya mendapat sejenis ramalan yang kurang sedap soal keamanan di kampus.

Tentu sesiapa saja akan berpikir demikian. Terlebih bila menarik benang historis latennya konflik yang selama ini terjadi. Konflik yang pernah terjadi di UHO, sama sekali adalah konflik yang diboncengi isu etnis. Dan,  menilik alat yang digunakan dalam konflik tersebut terbilang manual. Seperti busur, batu, senjata tajam, dan hal lain yang cukup tradisional. Tidak ada satu pun "alat perang" yang terbilang canggih.

Garis sejarah konflik tersebut, tentu amat tidak linier dengan agenda latihan penjinakan bom di lingkungan kampus. Kiranya, amat tidak sepadan bila satuan pengamanan kampus dilatih untuk menjinakkan bom. Betapa tidak, latihan tersebut berbuah sial, menewaskan 4 orang (Tempo.co, 29 Maret 2016). Satu orang anggota brimob Polda Sultra, dan tiga dari satpam UHO.

Saya pastikan, dalam beberapa waktu dekat, ledakan itu akan berbuah protes besar-besaran. Betapa tidak, kelompok mahasiswa yang merasa disumbat kebebasan beraspirasi, seperti memperoleh ruang yang cukup untuk mengkritisi kebijakan kampus. Yang, semestinya lingkup rektorat yang risih dengan kerawanan kampus malah memilih kegiatan yang justeru menggambarkan situasi darurat.

Bila UHO lebih peduli pada soal akademis, mestinya mendekatkan misi tridharma perguruan tinggi pada nafas akademis. Yakni menggiatkan rekayasa kultural kampus untuk mencapai kejelasan misi tridharma perguruan tinggi yang selama ini buram dan diliputi sengkarut.

Semoga ledakan granat di UHO menyibak tabir, siapa sesungguhnya yang berperan besar dalam agenda setting kampus? (*)

Oleh; Jufra Udo
Penulis bisa dihubungi via 082347430897